Kapan PPJB bisa dilaksanakan?


Tulisan ini saya peroleh dari Majalah Bisnis Global mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Tulisan ini juga menjadi solusi bagi kita orang awam yang kurang mengetahui hukum untuk permasalahan PPJB. Disini kita akan dapat pengetahuan tambahan mengenai PPJB yang bisa dilaksanakan di negara kita. Berikut tulisannya :

Dalam suatu kesempatan, Penulis terlibat pembicaraan dengan Ibu Fransiska Husada salah satu top manager yang sangat berpengalaman dari developer terkenal Intiland Group. Banyak hal yang dibahas diantaranya tentang kewenangan developer dalam membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang tidak bertentangan dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun. Perbincangan ini menurut Penulis menarik untuk diketahui atau dipahami bukan hanya karena munculnya pro dan kontra terkait dengan keberadaan UU Rusun yang baru disahkan dua tahun lalu menggantikan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun tersebut, tetapi terlebih disebabkan oleh semangat munculnya “kesadaran hukum” yang tinggi yang ditunjukkan oleh Ibu Siska dalam menyampaikan sudut pandangnya. Sebagai contoh jangan karena alasan semata-mata mengejar profit atau target penjualan yang tinggi sehingga bisa “melabrak” ketentuan perundangan yang berlaku apalagi yang berpotensi menimbulkan ancaman pidana di kemudian hari, tentu hal seperti ini seyogyanya dihindari.

Beberapa poin menarik dalam ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2011 yang dibahas dalam pembicaraan tersebut sekaligus tanggapan Penulis disarikan sebagai berikut;

Terkait Pasal 42 ayat (2) c tentang “Kepastian status penguasaan rumah susun”  pada lampiran penjelasan disebutkan :

“Kepastian status kepemilikan antara SHM sarusun atau SKBG sarusun harus dijelaskan kepada calon pembeli yang ditunjukan berdasarkan pertelaan yang disahkan oleh pemerintah daerah”

Dalam hal ini Penulis berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 42 tidak secara mutlak harus terpenuhi semuanya baru dapat dilakukan transaksi/pemasaran merujuk pada kata “sekurang-kurangnya” artinya  kepastian status kepemilikan SHM Sarusun atau SKGB pada saat pemasaran tidak harus dilakukan dengan menunjukkan pertelaan yang telah disahkan oleh Pemda, tetapi bukti kepemilikan atau penguasaan  oleh pihak developer pada saat tersebut cukup dengan menunjukkan sertipikat atau copy sertipikat HGB atas nama developer atau IMB atau minimal SIPPT yang diterbitkan oleh Instansi terkait dengan logika hukum izin-izin tersebut diterbitkan oleh instansi yang berwenang tentu hanya kepada pihak/pemilik sah sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam izin-izin tersebut yang telah melalui pemeriksaan atau memenuhi kelengkapan persyaratan dan administrasi yang berlaku. Terkait hal ini perlu diingat sifat hukum mengatur regeldrecht/aanvulendrect artinya merupakan ketentuan yang tidak sepenuhnya memaksa tetapi melengkapi. Terlebih dalam prakteknya sangat lazim jika pada tahap pemasaran developer belum mendapatkan pertelaan yang telah disahkan oleh Pemda karena masih dalam proses pengurusan.

Terkait Pasal 43 ayat (2) c Jo Pasal 98, apakah PPJB dapat dibuat apabila persyaratan dalam ketentuan ini tidak dipenuhi yaitu karena bangunan belum jadi dan tidak ada prasarana umum?

Dalam hal ini Penulis berpendapatbahwa PPJB yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat 2 adalah PPJB sebagaimana dirujuk dalam ketentuan Pasal 43 ayat 1 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut;

“Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan Notaris”

Sangat jelas ketentuan tersebut menggunakan kata “dapat” yang secara hukum ditafsirkan tidak bersifat otomatis atau tidak memiliki sifat imperatif (memaksa) artinya PPJB bisa saja tidak dilakukan, dan jikapun ingin membuat PPJB tersebut bias saja dilakukan tidak dihadapan Notaris tetapi cukup dilakukan oleh para pihak saja dan inipun sah secara hukum menurut azas “Pacta Sun servanda sehingga PPJB ini tetap dibuat tanpa menentang ketentuan dalam UU Nomor 20 Tahun 2011.

Perlu dijelaskan kembali bahwa PPJB dapat dibuat untuk “objek yang baru akan ada” dengan mengacu pada asas-asas hukum perdata umum, tidak selalu untuk objek yang telah ada sedangkan untuk objek yang berupa tanah atau bangunan maka transaksi jual belinya mengacu pada azas-azas hukum tanah nasional yang bersumberkan pada azas-azas hukum adat. Dengan demikian meskipun bangunannya belum ada dan prasarana umumnya juga belum ada, PPJB tetap dapat dilangsungkan, namun dengan ketentuan pengalihan hak atas sarusunnya hanya bisa dilakukan secara sah dan sempurna  nantinya di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah melalui Akta Jual Beli (AJB).

Dalam hal ini PPJB berfungsi sebagai bukti telah terang dan tunainya jual beli atas objek sarusun, sedangkan AJB berfungsi sebagai telah beralihnya hak atas sarusun sesuai dengan Hukum Tanah Nasional, sedangkan untuk status penguasaan atas rusun dilindungi oleh UU Rusun dengan batas-batas hak milik atas rusun yang jelas termasuk atas bagian bersama rusun sebagaimana termaktub dalam pertelaan, jadi PPJB tunduk pada Hukum Perjanjian, AJB dan SHMSRS tunduk pada Hukum Tanah Nasional.

Muhammad Akram S.H.,M.Hum
Direktur Pusat Studi Hukum Properti Indonesia
GANDARIA 8 Office Tower Floor 12B
Jl. Iskandar Muda Jakarta Selatan
Tlp (021) 29036446, 70958647

Komentar