Prof. Dr. Rahardi Ramelan, M.Sc |
Pada abad 21 ini, cendikiawan, akademisi, pelaku
bisnis dan pemerintah banyak membahas masalah ekonomi kreatif dan
industri kreatif. Dimulai pada tahun 1990an, terjadi intensifikasi
perkembangan teknologi informasi bersamaan dengan peningkatan
kreatifitas, yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan Ekonomi Kreatif
dengan dukungan industri kreatifnya.
Daniel H. Pink (2005), kemudian memperkenalkan pemikiran bahwa abad ini ditandai sebagai Conceptual Age,
yang didominasi oleh peran otak sebelah kanan. Tetapi harus diingat
bahwa lahirnya pemikiran tersebut didasari adanya pergeseran ekonomi
negara-negara maju (Amerika Utara dan Eropa Barat), bahwa globalisasi
telah mengurangi peran industri manufacturing mereka dalam menghadapi persaingan dari Asia, antara lain Jepang, China, Korea dan Taiwan.
Demikian juga dalam bidang teknologi informasi, khususnya software,
telah lahir kekuatan besar dunia di Bangelore, India. Kenyataan inilah
yang mendesak, bahwa peningkatan peran otak sebelah kanan dan
kreatifitas harus mempunyai peran yang lebih intensif. Baik kreatifitas
yang berbasis pada hasil ekspresi budaya, maupun yang bertumpu pada
inovasi teknologi.
Dalam memasuki era baru yang memerlukan
kreatifitas, pelaku usaha dituntut untuk: (a) Peka terhadap lingkungan,
dan memiliki wawasan ke depan, (b) Menterjemahkannya ke dalam peluang
bisnis, (c) Menciptakan pembaharuan, atau membawa pembaharuan, (d)
Kreatifitas dan Inovasi dari yang sederhana sampai yang rumit.
Hal ini seperti dikatakan Romer (1990): “In
a world with physical limit, it is discoveries of big ideas (for
example, how to make high temperature superconductors), together with
the discovery of million little ideas(better ways to sew a shirt), that make persistent economic growth.”
Industri Kreatif di Indonesia
Tahun 2009 telah dicanangkan sebagai
Tahun Indonesia Kreatif. Dalam hal ini, kreatif dimaksudkan terbatas
kepada industri kreatif yang telah dirumuskan oleh pemerintah.
Definisi Industri Kreatif yang saat ini
banyak digunakan oleh pihak yang berkecimpung dalam industri kreatif,
adalah definisi berdasarkan UK DCMS (UK Department for Culture, Media, and Sport) Task force 1998:
“Creatives Industries as those
industries which have their origin in individual creativity, skill &
talent, and which have a potential for wealth and job creation through
the generation and exploitation of intellectual property and content.”
Industri kreatif di Indonesia dapat didefinisikan sebagai “Industri
yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat
individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan
melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu
tersebut.“
Di Indonesia, peran industri kreatif
cukup signifikan dengan besar kontribusi terhadap PDB 7,6 persen (2010).
Angka ini naik dibandingkan dengan kontribusi tahun 2002-2006 yaitu
sebesar 6,3% atau setara dengan Rp104,6 triliun (nilai konstan) dan
Rp152,5 triliun (nilai nominal). Industri ini telah mampu menyerap
tenaga kerja rata-rata tahun 2002-2006 adalah sebesar 5,4 juta dengan
tingkat partisipasi sebesar 5,8%.
Subsektor yang merupakan industri
berbasis kreativitas adalah (1) Periklanan, (2) Arsitektur, (3) Pasar
Barang Seni, (4) Kerajinan, (5) Desain, (6) Fesyen, (7) Video, Film dan
Fotografi, (8) Permainan Interaktif, (9) Musik, (10) Seni Pertunjukan,
(11) Penerbitan dan Percetakan, (12) Layanan Komputer dan Piranti Lunak,
(13) Televisi dan Radio, (14) Riset dan Pengembangan. (Sumber: Studi
Pemetaan Industri Kreatif, Deperdag RI, 2007).
Dari subsektor tersebut, sebagian besar,
yaitu Periklanan, Arsitektur, Desain, Video-Film-Fotografi, Permainan
Interaktif, Penerbitan dan Percetakan, Layananan Komputer dan Piranti
Lunak, serta Televisi dan Radio, sangat dipengaruhi oleh perkembangan
dan penguasaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, selain oleh daya
kreatifnya sendiri.
Sayangnya, dalam subsektor-subsektor ini
sering dikotori dengan penjiplakan. Acara-acara di televisi sering kita
temukan hanya merupakan copy atau hasil franchise dari
program sukses di luar negeri. Pengaruh perkembangan media secara
global, dan lebih berorientasinya pengusaha pada profit dan bisnis atau rent seaking, telah menurunkan atau mematikan kreatifitas dalam subsektor ini.
Fesyen, merupakan industri yang cepat
berkembangannya, dengan perputaran yang cepat pula. Industri fesyen
membutuhkan dukungan industri tekstil yang modern dan mutakhir. Salah
satu kelemahan utama industri fesyen kita adalah terbatasnya kemampuan
industri asesori. Dikaitkan dengan tekstil tradisional, seperti batik,
tenun, songket dan yang lainnya, masalah yang paling menonjol adalah
keterkaitannya dengan tenaga kerja dan modernisasi peralatan produksi.
Khususnya Batik, banyak masalah yang
harus diselesaikan antara kita sendiri. Perbedaan pandangan antara
proses produksi (tulis, cap, sablon, print, dan duplex printing) dan
motif, termasuk desain motif memanfaatkan Matematika Fraktal. Industri
batik, sebagai industri yang banyak melibatkan industri rumah tangga,
pengrajin dan wanita, juga menghadapi masalah dengan menghilangnya
minyak tanah. Sampai hari ini solusi yang pas belum ditemukan. Reaksi yang berlebihan dari pemerintah daerah yang ingin mem “patenkan” desain batik, perlu diluruskan.
Kerajinan, inilah subsektor yang paling
banyak dibahas dan melibatkan banyak pengusaha dan lembaga pemerintah.
Sebagian besar perusahaan dalam sbsuektor ini adalah UMKM dan pengrajin.
Kerajinan atau handicraft, seperti halnya batik merupakan
bagian dari tradisi kita. Yang mulainya berkembang sebagai kegiatan
lokal, kemudian berkembang menjadi nasional dan global. Persaingan di
dunia akan produk kerajinan ini sangat besar. Desain, kualitas dan workmanship, menjadi komponen yang menentukan dalam persaingan.
Berbagai pameran di daerah, di
departemen, maupun pameran nasional, yang banyak diselenggarakan setiap
tahun, telah mendorong kreatifitas. Kerajinan juga merupakan perhatian
UNESCO dengan adanya perlombaan untuk mendapatkan UNESCO Award of
Excellence.
Karena mayoritas pelaku usaha dalam
subsektor kerajinan ini adalah usaha kecil, rumah tangga dan pengrajin,
maka diperlukan bantuan desain dan pendampingan. Kita membutuhkan
pusat-pusat desain dan pendukung proses produksi dan teknologi di
sentra-sentra kerajinan di seluruh daerah. []
Prof. Dr. Rahardi Ramelan, M.Sc
[Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Reformasi Pembangunan]
Komentar
Posting Komentar